anggota kelompok :
9M. Zainul Makin 27214601
M. Iqbal Nur S 27214352
Pradifta Kumala 28214466
2EB07
CONTOH KASUS :
SAMA MEREK BEDA RASA BAHAYA
Berhenti
di lampu rambu-rambu lalu-lintas Simpang Empat Jalan Pocut Baren, Peunayong,
Banda Aceh, terlihat kejanggalan pada satu nama rumah makan di sudut barat,
“Skandar”.
Jika merek dagang itu merujuk nama
orang semisal Iskandar, apakah huruf “i” sudah copot atau sengaja dibuat
demikian? “Tidak untuk kedua-duanya, ada cerita lain di balik nama itu,” tutur
Rudi, pemilik Warung Nasi Goreng/Gurih Skandar kepada Pikiran Merdeka, Kamis, 17
Maret 2016.
Tahun
1982, muncul Gerobak Nasi Goreng/Gurih Iskandar di Rex Peunayong, kawasan pusat
kuliner populer di Banda Aceh pada masa itu, sekitar 500 meter dari warung
Skandar kini.
Gerobak
Nasi Iskandar itu dijalankan oleh pasangan suami istri Zainal Abidin dan
Rohani—kedua-duanya almarhum—yang memberikan merek dagang berdasarkan nama anak
bungsu mereka, Iskandar. Nasi racikan keduanya cukup terkenal hingga tsunami
menggulung Kutaraja pada 2004 dan Rohani salah satu korban.
Kakak
kandung Iskandar, Nurhayati (44), mengembalikan usaha Nasi Goreng/Gurih
Iskandar milik orangtuanya itu pada 2005, dengan menyewa ruko satu pintu di
Jalan Panglima Polem, Peunayong, dekat Bundaran Simpang Lima.
Nurhayati
bersama suaminya, Ridwan (46), memulai kembali dari nol. Sementara
keponakannya, Rudi, yang juga sempat membantu orangtuanya saat jualan di Rex
Peunayong juga punya niat buka usaha itu namun tak punya modal.
Bisnis
yang dikelola Nurhayati dan suaminya di Jalan Panglima Polem itu cukup maju.
Terlebih pascatsunami, Banda Aceh bersolek menjadi lebih tertata dan semakin
ramai.
Mereka
pun mendaftarkan merek degang Nasi Goreng/Gurih Iskandar ke Kemenkumham RI.
“Kami sudah mendapatkan hak paten itu sekitar tujuh tahun yang lalu,” tutur
Nurhayati kepada Pikiran Merdeka, Rabu, 16 Maret 2016.
Rudi
tak mau ketinggalan oleh geliat perputaran uang di ibu kota provinsi. Pada
2007, bermodal pengalaman sebelumnya ia berniat membuka sendiri usaha serupa,
yaitu warung nasi goreng/gurih.
Awalnya dia ingin memberikan nama
pribadinya untuk merek dagang, Nasi Goreng/Gurih Rudi. Namun ia juga merasa
berhak menggunakan branding Iskandar yang dirintis
neneknya.
“Nama
(merek) juga sangat mempengaruhi pasar,” tuturnya.
Namun
saat mendiskusikan merek dagang usaha, Rudi tak diizinkan pamannya, Iskandar,
menggunakan nama yang sama. Begitupun Nurhayati yang usaha kulinernya sudah
mantap di Jalan Panglima Polem. Rudi terus memohon. Sempat alot.
“Mana bisa pakai nama yang sama.
Beda dapur kan beda rasa. Kami tahu seharusnya bisa
menggugat dia, tapi kami saudara. Diamkan saja-lah,” ujar Nurhayati yang
kelahiran Meureudu, Pidie Jaya itu.
Kemiripan nama usaha menurutnya
sering menimbulkan kesalah-pahaman pelanggan. Pelanggan yang ingin komplain ke Skandar menyasar Iskandar,
begitupun sebaliknya.
Rudi
akhirnya mengalah dan menggulirkan usaha sendiri pada 2008 dengan nama Nasi
Goreng/Gurih Skandar.
“Sebenarnya nasi Skandar yang saya
kelola dengan Iskandar di Jalan Panglima Polem itu memakai resep yang sama.
Tapi beda koki kan beda rasa. Saya pun damai saja, karena
kita punya hubungan keluarga,” kilah Rudi.
Dia
juga mengaku sempat disarankan seorang advokat untuk mendaftarkan merek dagang
Skandar. Tapi dia tak terlalu ambil pusing. “Rejeki sudah Allah yang atur,”
tuturnya.
Melanggar Hukum HKI
Sekilas persoalan nama merek dagang antara kedua
manajemen berbeda itu sudah kelar ketika Rudi memilih nama Skandar. Tapi secara
hukum, itu masih skandal.
Konsultan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di
Banda Aceh, Teuku Eddy Faisal Rusydi (34), menerangkan, di antara dua merek
dagang nasi goreng/gurih itu, hanya Iskandar dekat Bundaran Simpang Lima yang
sudah mengantongi sertifikat merek dagang dari Kemenkumham.
“Dengan dibuangnya huruf ‘i’ oleh pemilik Skandar,
bukan berarti perkara sudah selesai secara hukum. Kenapa? Karena merek tidak
boleh sama baik pada fonetiknya maupun keseluruhannya,” tutur konsultan HKI
satu-satunya di Aceh yang ber-SK Menkumham RI itu.
TEF Rusydi menjelaskan, perlindungan bukan hanya pada
penulisan merek (fonetik), tapi juga mencakup fonologi (bunyi pengucapan)
terhadap merek tersebut.
Misalnya, Skandar saat diucapkan punya kemiripan
dengan Iskandar. “Memang sebegitu detail perlindungan hukum dari negara,”
ujarnya.
Berguru Lalu Mandiri
Warung Mie Aceh Simpang
Lima di Peuniti, Banda Aceh. FOTO Makmur Dimila
Di Banda Aceh, sebutlah tiga nama brand mi aceh
terkenal. Mie Simpang Lima di Peuniti, Mie Razali di Peunayong, dan Mie Midi di
Peuniti. Kelahiran dua nama terakhir ini tak lepas dari munculnya mie aceh
pertama di Banda Aceh, yaitu Mie Aceh Simpang Lima pada 1961.
Saifullah (48), Manager Mie Aceh Simpang Lima, Jumat
18 Maret 2016, menerangkan, alm Haji Umar yang merupakan ayahnya, pertama kali
menjajakan kuliner top di Aceh itu dengan gerobak di Jalan Teungku Daud
Beureueh, sekitar Bundaran Simpang Lima.
Alm Haji Umar beberapa tahun kemudian, usai membuat
kedai kayu, mampu membuka tiga cabang: satu di Simpang Lima yang bersebelahan
dengan kedai pertama, di Peunayong, dan di Peuniti pada 1974.
Razali saat itu bekerja di warung Mie Aceh Simpang
Lima. Setelah beberapa tahun, ia pamit dan buka usaha sendiri, hingga lahirlah
Mie Razali pada 1967 yang kini cukup populer di Jalan Panglima Polem,
Peunayong.
Seiring majunya usaha, Haji Umar kemudian memfokuskan
pada gerai yang di Jalan Chik Di Tiro, Peuniti. Saifullah melanjutkan usaha mie
aceh warisan orangtunya itu sejak 1992, setelah ayahnya meninggal.
Sadar pentingnya melindungi merek dagang, Saifullah
mendaftarkan Mie Aceh Simpang Lima melalui Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh di
Banda Aceh, beberapa tahun setelah tsunami.
Tarmizi, yang juga bekerja di Mie Aceh Simpang Lima,
beberapa tahun pascatsunami buka usaha sendiri di Peuniti, dengan nama Mie
Midi. Kini mereka bersaing secara sehat. Beda merek, beda rasa. Dan, aman-aman
saja.
“Antara ketiga pemilik merek mi aceh itu, punya
hubungan famili. Yang semua ide dagangnya berasal dari Mie Aceh Simpang Lima. Namun
mereka tidak memakai merek dagang yang sama,” cetus TEF Rusydi.
Jangan Sepelekan
Sertifikat
Fauzan saat menerima
sertifikat merek dagang Biecoffee di Kantor Hukum TEF Rusydi. FOTO: Makmur
Dimila
DI Jalan Hasan Dek No. 280, Jambo Tape, Banda Aceh,
Fauzan (33) menerima selembar sertifikat seraya menjabat tangan Teuku Eddy
Faisal Rusydi, di kantor advokat lulusan Magister Perdamaian dan Resolusi
Konflik UGM Yogyakarta itu.
Fauzan mengantongi sertifikat merek dagang Biecoffee,
siang 16 Maret 2016 itu, setelah mengajukannya kepada Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham) RI Ditjen Kekayaan Intelektual pada 13 Juli 2012.
Biecoffee mulai dipasarkannya secara online pada
Februari 2012. Namun ia belum mau mengekspansinya secara luas sebelum mendapatkan
sertifikat resmi untuk merek produk kopi arabika-nya.
“Saya sengaja
menyelesaikan dulu soal branding merek. Jangan nanti ketika
produknya beredar, tiba-tiba bermasalah dengan merek. Sekarang saya sudah siap
memasarkannya secara luas,” ujarnya usai menerima sertifikat.
Fauzan pada akhir 2015 sempat dikejutkan oleh fakta
bahwa ia mendapati merek kopi arabika di salah satu daerah di Aceh, “Bie Kupie”
yang secara ucapan mirip dengan “Biecoffee”-nya.
Kini, ia sudah mengunci hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
untuk merek dagang kopinya itu sehingga dilindungi oleh negara. Ia juga punya
hak menggugat ganti rugi kepada “Bie Kupie” jika brand terkesan tiruan itu
belum mendapatkan sertifikat dari Kemenkumham. Sama seperti kasus Iskandar
dengan Skandar.
Teuku Eddy Faisal Rusydi mengatakan, persoalan HAKI
sangat diperhatikan oleh masyarakat di negara maju, karena aset intelektual
bagi mereka penting sekali untuk dilindungi.
Berbeda dengan masyarakat di negara berkembang.
Kesadaran masyarakat Aceh dan umumnya Indonesia masih sangat rendah untuk
mendapatkan sertifikat HAKI. Selain karena dianggap sepele, dia sendiri
mengakui kurang adanya sosialisasi.
Seharusnya menurut TEF Rusydi, setiap pengusaha lebih
dulu mendapatkan sertifikat HAKI dari Kemenkumham RI sebelum menjalankan
bisnisnya, meskipun hal itu akan menghambat usaha karena menunggu diproteksi
suatu merek memakan waktu lama.
Namun ia menegaskan, merek dagang perlu secepatnya
diproteksi. Sebab suatu waktu sebuah merek bisa lebih bernilai dari
perusahaannya sendiri. Misal merek dagang Aqua, berapapun ditawarkan harga, ia
yakin takkan dijual oleh perusahaannya.
Dia menjelaskan, sekali mengurus HAKI bisa memakan
waktu antara 2 – 5 tahun. Tak menutup kemungkinan, bisa memakan waktu lebih
lama jika suatu merek dagang yang diajukan ke Kemenkumham RI itu tersandung
masalah.
Sekali urus sertifikat merek dagang, butuh biaya
sekitar Rp6 juta – Rp 7 juta. Dengan biaya sebesar itu, katanya, seorang klien
boleh mengurus 1 – 10 merek dagang dari berbagai kelas barang.
“Kalau daftar satu merek, harganya sebesar itu. Daftar
tujuh merek pun harganya sebesar itu,” sebut advokat yang menempuh sarjana di
Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry itu.
Sejak meresmikan kantor hukum yang melayani jasa
advokat, konsultan hak kekayaan intelektual, dan mediator, TEF Rusydi sudah
menangani 100-an klien, baik lokal maupun internasional.
Merek Terkenal dan Tidak
Terkenal
Ia menyebutkan, dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, UU No 15
tahun 2001 tentang Merek, ada yang disebut dengan merek terkenal. Ketika satu
merek sudah terdaftar minimal di tiga negara, ia sudah menjadi merek terkenal.
Bila sudah menjadi merek terkenal, pihak lain tak
boleh lagi menggunakan merek tersebut walaupun bukan pada kelas barang sejenis.
Setiap barang sebutnya, secara global punya klasifikasi (pengelompokan), mulai
dari kelas 1 – 45.
Ia mencontohkan Biecoffee terdaftar pada barang kelas
30—yang di dalamnya ada gula, teh, selain kopi. Seandainya ada orang lain yang
menggunakan merek itu untuk produksi kopi, negara bisa memproteksi.
“Fauzan punya hak untuk melarang orang lain (jika)
menggunakan merek dagangnya, apakah dipidanakan, maupun menuntut ganti rugi,”
terangnya, “tapi sejauh dalam kelas barang 30.”
Ketika kelak Biecoffee didaftarkan merek dagangnya
minimal di tiga negara—seperti yang sudah dilakukan pemilik Ayam Lepaas—ia
menjadi merek terkenal, sehingga orang lain tidak bisa lagi menggunakan merek
Biecoffee meskipun bukan pada kelas 30. Tapi selagi masih terdaftar di satu
negara saja, orang lain masih boleh pakai merek Biecoffee untuk produk selain
kopi (kelas 30).
Dilarang Gunakan Public
Domain
Alur proses pendaftaran
merek dagang dan HAKI lainnya. FOTO: Makmur Dimila
TEF Rusydi juga
menyebutkan, merek dagang tidak boleh diambil berdasarkan public domain,
yaitu nama suatu tempat, benda, zat, sifat, atau keterangan yang masuk dalam
ranah publik.
“Misal Fauzan
mendaftarkan kata ‘kupi’ atau ‘coffee’ sebagai merek dagangnya, itu melanggar
hukum. Kenapa ia kemudian mendapatkan sertifikat, karena ada kata sayapyaitu
‘bie’,” terangnya.
Jika ada satu pengusaha yang mendapatkan merek dagang
dengan menggunakan public domain, kata TEF Rusydi, bisa jadi ada kekeliruan di
pihak kementerian.
Terkait penggunaan public domain, komunitas yang
merasa dimanfaatkan nama komunitasnya itu, berhak menggugat pengusaha
bersangkutan. Ia mencontohkan satu merek dagang di Banda Aceh yang menjadikan
nama satu tempat sebagai merek dagangnya, pada 2014, digugat oleh satu LBH.
Untungnya, si pemilik merek dagang berhasil mengalahkan gugatan LBH itu di pengadilan
setelah menyewa kuasa hukum.
“Ketika suatu merek sudah bermasalah dengan ranah
rukum, itu akan membutuhkan biaya yang sangat besar,” kata konsultan yang
tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Konsentrasi Hukum Hak Kekayaan
Intelektual Universitas Krisna Dwipayana Jakarta.
Ia mengutarakan, dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001,
tentang Merek, disebutkan, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk
jangka waktu tertentu, dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
“Seandainya Fauzan tidak menggunakan merek Biecoffee,
ia bisa memberikan izin penggunaan lisensi kepada orang lain,” sebutnya.
Dengan catatan, antara kedua pihak harus bikin
perjanjian untuk selanjutnya didaftarkan kembali ke Kemenkumham, sehingga
mengikat kedua belah pihak dan pihak ketiga.
“Satu lisensi merek yang didaftarkan tanpa pihak
ketiga, maka hanya mengikat dua pihak saja. Ketika ada pihak lain (pihak
ketiga) yang melanggar, tak bisa diprotes.”
2 Hal Penting Berdagang
Menurutnya, ada dua hal penting dalam dagang. Pertama,
merek. Enak atau tidak, bagus atau tidak, suatu produk sangat dipengaruhi
mereknya. Kedua, rahasia dagang, semisal merahasiakan resep masakan pada suatu
restoran.
“UU No 30 Tahun 2000 mengatur tentang rahasia dagang.
Rahasia dalam satu perusahaan yang bernilai ekonomi kemudian dijaga
kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.”
Dalam setahun terakhir, TEF Rusydi cukup banyak
menangani klien yang berperkara dengan merek dagang. Bukan hanya di Indonesia,
tapi juga luar negeri. Semestinya itu sudah cukup menjadi pelajaran bagi
masyarakat.
Kantor Hukum Advokat, Konsultan HKI, Mediator, Teuku
Eddy Faisal Rusydi, SHI, MSc & Co, menangani klien yang mengurus hak cipta,
paten, merek, indikasi geografis, desain industri, desain tata letak sirkuit
terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman.
Analisis : Melihat kasus diatas,
ada hikmah yang dapat kita ambil, yaitu pentingnya mendaftarkan merk dagang
agar lebih paten. Dan menurut kelompok kami, beda rasa tidak masalah apalagi
jika rasanya lebih nikmat. Namun, menurut undang-undang wajib daftar
perusahaan, sebuah perusahaan memang harus mendaftarkan perusahaannya, sesuai
dengan undang-undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan dan
atau peraturan pelaksanaannya dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh
setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor
pendaftaran perusahaan.
Referensi :
http://pikiranmerdeka.co/2016/04/05/sama-merek-beda-rasa-bahaya/
Sekian tulisan dari kelompok kami, terimakasih telah berkunjung di blog saya
wassalamualaykum :)