KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan dapat dilihat dari dua
sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada
kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang atau
kekeluarga. Kedua istilah itu menunjuk pada perbedaan sosial (social
distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi
pendapatan.
Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan
absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata
(garis kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara
pada kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan
relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk.
Ø Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut atau mutlak
berkaitan dengan standar hidup minimum suatu masyarakat yang diwujudkan dalam
bentuk garis kemiskinan (poverty line) yang sifatnya tetap tanpa
dipengaruhi oleh keadaan ekonomi suatu masyarakat. Garis Kemiskinan (poverty
line) adalah kemampuan seseorang atau keluarga memenuhi kebutuhan hidup
standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk melangsungkan hidupnya.
Pembentukan garis kemiskinan tergantung pada defenisi mengenai standar hidup
minimum. Sehingga kemiskinan abosolut ini bisa diartikan dari melihat seberapa
jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum
merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin.
Ø Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk
pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka
yang berada dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu
masyarakat digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini,
dapat saja mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat
mencukupi hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhannya berada dilapisan
terbawah.
2.2. PENGERTIAN
KEMISKINAN
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup:
Ø
Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari:
sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Ø
Gambaran
tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah
diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Ø
Gambaran
tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makan
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari
objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi
tempatnya bekerja melarang.
2.3. GARIS KEMISKINAN
Konsep
Definisi
Garis Kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah
minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang
setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan
makanan.
Rumusan
GK
= GKM + GKNM
Ket
: GK = Garis
Kemiskinan
GKM
= Garis Kemiskinan Makanan
GKNM
= Garis Kemiskinan Non Makanan
Kegunaan
Untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti jumlah
dan persentase penduduk miskin (headcount index-Po), indeks kedalaman
kemiskinan (poverty gap index-P1), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty
severity index-P2)
Keterangan
Tambahan
Selain dari Susenas Modul Konsumsi dan Kor, variabel lain
untuk menyusun indikator kemiskinan diperoleh dari Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Interpretasi
Garis kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan
2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2.4. PENYEBAB
KEMISKINAN
·
Penyebab individual, atau patologis,
yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan
dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan
tidak mengukur pemasukan.
·
Penyebab keluarga, yang
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga
dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan
keuangan keluarga.
·
Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan
kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam
lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan
tetangga adalah contohnya.
·
Penyebab agensi, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah,
dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang
dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
·
Penyebab struktural, yang memberikan
alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun
diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari
kemalasan, namun di Amerika
Serikat (negara terkaya per kapita di
dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati
atas garis kemiskinan.
2.5. DAMPAK
KEMISKINAN :
1.
Berkurangnya rasa nasionalisme,
dikarenakan terlalu memikirkan kebutuhan utuk bertahan hidup.
2.
Tindak kejahatan tersebar
dimana-mana, dikarenakan sudah terlalu terdesak dengan kebutuhan tanpa dibekali
iman dalam agama sehingga segala cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
3.
Harga diri suatu Negara yang jatuh
dimata dunia dan dianggap sumber dayanya tidak memiliki potensi untuk maju dan
hanya mengandalkan bantuan saja.
4.
Menumbuhkan generasi muda yang tidak
mengindahkan budaya ketimur.
5.
Hilangnya rasa gotong royong dan
saling membantu dikarenakan tingkat sifat individualism yang tinggi.
6.
Timbulnya banyak penyakit
dimana-mana dikarenakan keadaan lingkungan yang kumuh dan jauh dari kebersihan.
7.
Semakin banyak yang tidak belajar
agama dikarenakan memilih pada focus utama yaitu cari makan.
8.
Semakin terpuruknya ekonomi suatu
Negara yang mengakibatkan kehancuran suatu bangsa, akibat ingin memisahkan diri
dari wilayah kesatuan tanah air.
2.6. PERTUMBUHAN KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada
korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan
perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh
Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an
ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal
1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s
dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi
pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan
perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan
pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam
jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang
antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.
Dengan data cross sectional
(antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi
kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.
Tingkat Kesenjangan
Periode
Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini menginterpretasikan:
Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke
ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è
Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai
akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan,
ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga
kerja dari desa atau produksi atau
penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak
studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
a. Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi
sebagian lain menolak
b.
Hubungan positif
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan
ada di DC’s
c. Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil
daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.
Deininger dan Squire (1995)
dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s
dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara
tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan Kanbur (1993)
mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets.
Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan
tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi
dan cakupan survey berbeda.
Ravallion
dan Datt (1996) menggunakan data India:
Ø
Proxy dari
pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai
riil) per orang (1951=0)
Ø
Proxy tingkat
kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun
1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan
tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk China
menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
2.7. BEBERAPA
INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mrngukur
tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua
kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering
digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga
alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien
gini.
Yang paling sering dipakai adalah
koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila
0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan)
dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
0
X
Kurva
Lorenz
Kumulatif
presentase dari populasi
Yang
mempunyai pendapatan
Ide dasar dari perhitungan
koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini,
yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat
tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan. Ketimpangan
dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0.
Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang
dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien
gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara
pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah
dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk
dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk
dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan
pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk
dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan
dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari
kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah
pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima
12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah,
apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17%darijumlahpendapatan.
Indikator
Kemiskinan
Batas
garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini
disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang
dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan
bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan
2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan
meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan
kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama
merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan
absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan
minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari
2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non
makanan (non food line).
Untuk
mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk
(1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence
of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan
pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering
disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya
kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK),
atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi
jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai
suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai
berikut :
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks
Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah
perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok
keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan.
Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya
pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi
dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
2.8. KEMISKINAN DI INDONESIA
Setelah
indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999
dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara
spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskin meningkat kembali
dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP
dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk
miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta
jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta
jiwa (BPS,1999). Sementara itu, International
Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia
pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari seluruh
jumlah penduduk (BPS, 1999).
Data
dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998 telah
terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah pedesaan dan
perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat menjadi 67,72%,
sementara di perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara agregat, persentase
peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang lebih besar di
wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%). Akan tetapi,
selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin meningkat
sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan
sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).
Data
di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk
perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999),
setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung memberi
pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti
perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak negatif
dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga bahan
makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena mereka masih dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistem yang dihasilkan
dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan yang
sistem produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan
makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.
Angka
kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai
lebih dari 21 juta jiwa. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan,
yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki
pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan daripada orang miskin. Selain
memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami
ketelantaran psikologis, sosial dan politik terutama menghinggapi para pemuda
di negeri ini.
Selain
kelompok di atas, krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah orang yang
bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya
sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta dirampingkannya struktur industri
formal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama
periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhdap 5,4
juta pekerja pada sektor industri modern menurunkan jumlah pekerja formal
(terutama para pemuda) dari 35% menjadi 30%.
Menurut
Tambunan (2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebut diserap
oleh sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Pada sektor
informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatan yang sangat
dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir tahun 1996-1999
pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas, 1998). Dilihat dari
jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun
demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial
ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan rentan.
Departmen
Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini, termasuk
melaksanakan Program-Program Kesejahteraan Sosial dikenal PROKESOS yang
dilaksanakan, baik secara intradepartmen maupun antardepartmen bekerja sama
dengan department-departmen lain secara lintas sektoral. Dalm garis besar
pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani kemsikinan sangat dipengaruhi
oleh persefektif pekerjaan sosial (social
work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau
pekerjaan –pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan
kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body
value), dan keterampilan (body of
skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan
sosial (S1, S2, dan S3).
2.9. KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI
INDONESIA
Kemiskinan
adalah persoalan yang dihadapi oleh seluruh Negara di dunia akan tetapi
karakteristik kemiskinan pada masing-masing Negara berbeda. Menurut Kemal A.
Stamboel, sedikitnya terdapat tujuh karakteristik kemiskinan di Indonesia,
yaitu :
1.
Mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya
di sektor pertanian.
Secara
sektoral, jumlah penduduk miskin Indonesia terkonsentrasi di sektor pertanian.
Menurut data BPS (2010), sekitar 63%
rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh
tani, sekitar 6% bekerja di sektor industri, sekitar 10% belum atau tidak
memiliki pekerjaan dan sisanya 21% bekerja di sektor-sektor lainnya. Besarnya
ketergantungan masyarakat miskin terhadap sektor pertanian menjadikan sektor
ini penting untuk mendapatkan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Meski
demikian, kita melihat pertumbuhan sektor pertanian terus menurun dari tahun ke
tahun yang secara tidak langsung menunjukkan produktivitas yang sangat rendah.
Produktivitas yang rendah ini menyebabkan nilai pendapatan per kapita sektor
pertanian paling rendah jika dibandingkan sektor lainnnya. Rendahnya
produktivitas ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab utamanya
adalah rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan petani.
2.
Mayoritas rumah tangga miskin adalah petani
gurem/subsisten
Jumlah
petani meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu 1993-2003 dari 20,87 juta
menjadi 25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-rata 2,2% per tahun.
Namun peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah petani
gurem/subsisten yang pada tahun 1993 hanya berjumlah 10,8 juta jiwa menjadi
13,7 juta jiwa pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 2,6% per tahunnya. Dengan
demikian persentase rata-rata peningkatan jumlah petani gurem lebih tinggi 0,3%
dari peningkatan rata-rata jumlah rumah tangga petani.
Kondisi
gurem/subsisten ini meyebabkan petani di Indonesia memiliki produktivitas yang
rendah. Produktivitas pertanian yang mereka lakukan hanya mampu untuk memenuhi
kebutuhan makan namun belum mampu untuk mendapatkan keuntungan sehingga
memperoleh tambahan pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
non-makanan.
3.
Disparitas tingkat kemiskinan yang tinggi antara kota
dan desa
Secara
kuantitas, jumlah penduduk miskin yang tinggal di perdesaan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan dengan rata-rata hamper mencapai
dua kali lipat. Dengan kata lain, setiap satu penduduk miskin yang ada di kota,
terdapat sekitar 2 penduduk miskin yang berda di desa. Lebih dalam lagi bila
kita perhatikan, keberdaan penduduk miskin di kota tak lain merupakan akibat
dari proses urbanisasi yang cukup masif dari penduduk miskin desa yang pindah
ke kota untuk mencari pekerjaan.
Urbanisasi
menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari penduduk miskin perdesaan
yang memiliki keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan keahlian beralih ke
kota. Proses perpindahan ini secara tidak langsung menjadi sebuah proses
pemindahan penduduk miskin yang awalnya tinggal di perdesaan menjadi tinggal di
daerah perkotaan. Dengan kata lain, meskipun terdapat penduduk miskin di kota,
sumber kemiskinan tetap muncul dari wilayah perdesaan.
4.
Disparitas tingkat kemiskinan yang sangat tinggi antar provinsi
Secara
geospasial, Indonesia memiliki angka sebaran kemiskinan yang tidak merata antar
provinsi dan terdapat kesenjangan yang sangat besar antar satu provinsi dengan
provinsi yang lain. Ada provinsi yang tingkat kemiskinannya cukup rendah namun
di daerah lain sangat tinggi, bahkan perbedaannya bisa mencapai 1 banding 12.
Ambil contoh Jakarta dan Papua, dimana tingkat kemiskinan Jakarta hanya sekitar
3,84%, sedangkan di Papua bisa mencapai angka 36,8%. Ini adalah sebuah potret
disparitas yang sangat ekstrem. Jika kita lihat lebih mendalam potret kegiatan
ekonominya, maka provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya banyak bergerak di
sektor pertanian cenderung memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dibandinkan
provinsi-provinsi yang mengandalakan
sektor perindustrian atau jasa.
5.
Dominasi belanja belanja makanan terhadap garis
kemiskinan
Pendekatan
perhitungan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan pengeluaran minimum
kebutuhan dasar makanan dan non-makanan menyebabkan tingkat kemiskinan di
Indonesia sangat elastis terhadap perubahan harga kedua jenis komoditas
tersebut. Dari dua jenis komoditas, makanan dan non-makanan terhitung bahwa
mayoritas pengeluaran masyarakat miskin
yaitu 74% digunakan untuk pembelian komoditas makanan sedangkan
komoditas non-makanan hanya menyumbang sekitar 26%. Dari total pengeluaran
makanan tersebut, beras adalah penyumbang terbesar dengan proporsi sebesar
25,2% untuk rumah tangga miskin yang tinggal di perkotaan dan sekitar 34,11%
untuk rumah tinggi miskin di perdesaan.
Selanjutnya,
fenomena yang cukup menarik adalah pengeluaran rumah tangga miskin terhadap
rokok ternyata cukup tinggi yakni sekitar 7,93% untuk rumah tangga miskin di
perkotaan dan sekitar 5,9% untuk rumah tinggi miskin perdesaan. Pengeluaran
untuk konsumsi rokok ini menduduki peringkat kedua terbesar setelah beras untuk
jenis komoditas makanan. Lebih miris lagi, pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok
lebih besar daripada penegeluaran untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
6.
Berkumpul di sekitar garis kemiskinan.
Menurut
data BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 30,02 juta
jiwa atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia, jika dibandingkan
dengan data per Maret 2010, dimana penduduk miskin berjumlah 31,02 juta jiwa
atau 13,33% maka terjadi penurun 1 juta jiwa dalam setahun terakhir. Namun
penurunan tersebut melambat jika dibandingka dengan pencapaian tahun sebelumnya
yang berhasil mengentaskan kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara
pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2011 meningkat drastis mencapai 6,5% dari
tahun 2010 yang hanya 6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan tidak
sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Angka
ini pun belum menambahkan jumlah penduduk yang sedikit di atas garis kemiskinan
atau near poor. Tahun sebelumnya
jumlah near poor mencapai 29,38 juta
jiwa yang didapat dengan melihat jumlah populasi yang hidup dikisaran 1,2 kali
dari garis kemiskinan. Dengan demikian, jika rata-rata garis kemiskinan pada
Maret 2011 adalah Rp.233.740,- pengeluaran per kapita per bulan atau Rp.7.791,-
per kapita per hari (BPS, 2011), maka ukuran untuk near poor adalah penduduk yang pengeluaran per kapita per bulannya
di bawah Rp.280.488 atau Rp,9,350,- per kapita per hari. Dengan ukuran tersebut
berarti jumlah penduduk yang pengeluaran di bawah Rp.10.000,- per hari masih
sekitar 60 juta jiwa yang terdiri dari 30,02 juta jiwa di kategorikan miskin dan
29,38 juta jiwa yang dikategorikan hampir miskin.
7.
Kemiskinan bersifat multidimensi.
Jika
kita kembali membaca data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin gelisah
karena kemiskinan multidimensi masih merupakan fenomena umum yang terjadi di
masyarakat kita dari sisi kesehatan, jumlah kematian balita per 1.000 kelahiran
mencapai 60,1% di daerah perdesaan dan 37,8% di perkotaan. Persentase penduduk
yang tinggal di rumah yang tidak layak tinggal , kurang akses sanitasi, dan
tidak memiliki MCK yang baik mencapai angka 50,42% untuk daerah perdesaan dan
15,05% untuk perkotaan.
Dari
segi pendidikan, masyarakat Indonesia masih mengalami nasib yang mengenaskan.
Angka persentase penduduk yang hidup dalam rumah tangga dengan kepala keluarga
yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun mencapai angka 83,65%
untuk perdesaan dan 50,47% untuk perkotaan. Yang paling memprihatikan adalah
rendahnya tingkat pendidikan generasi muda yang bisa dilihat dari persentase
penduduk yang berusia 18-24 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar
Sembilan tahun berjumlah 40,70% untuk daerah perdesaan dan 15,97% untuk
perkotaan.
2.10. FAKTOR – FAKTOR KEMISKINAN
1.
Pengangguran
Semakin banyak pengangguran, semakin
banyak pula orang-orang miskin yang ada di sekitar. Karena pengangguran atau
orang yang menganggur tidak bisa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Padahal kebutuhan setiap manusia itu semakin hari semakin
bertambah. Selain itu pengangguran juga menimbulkan dampak yang merugikan bagi
masyarakat, yaitu pengangguran dapat menjadikan orang biasa menjadi pencuri,
perampok, dan pengemis yang akan meresahkan masyarakat sekitar.
2.
Tingkat pendidikan yang rendah
Tidak adanya keterampilan, ilmu
pengetahuan, dan wawasan yang lebih,
masyarakat tidak akan mampu memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik.
Karena dengan pendidikan masyarakat bisa mengerti dan memahami bagaimana cara
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dengan belajar, orang yang semula
tidak bisa menjadi bisa, salah menjadi benar, dsb. Maka dengan tingkat
pendidikan yang rendah masyarakat akan dekat dengan kemiskinan.
3.
Bencana Alam
Banjir, tanah longsor, gunung
meletus, dan tsunami menyebabkan gagalnya panen para petani, sehingga tidak ada
bahan makanan untuk dikonsumsi dan dijual kepada penadah atau koperasi.
Kesulitan bahan makanan dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
tidak dapat terpenuhi.
2.11. KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan
suatu strategi dan bentuki ntervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga
pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
1.
Pertumuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2.
Pemerintahan yang baik (good
governance)
3.
Pembangunan sosial
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi
pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut
waktu yaitu :
a.
Intervensi jangka pendek,
terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
b.
Intervensi jangka menengah dan
panjang
Ø Pembangunan sektor swasta
Ø Kerjasama regional
Ø APBN dan administrasi
Ø Desentralisasi
Ø Pendidikan dan Kesehatan
Ø Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan
2.12. PROGRAM-PROGRAM
PEMERINTAH UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN DI INDONESIA
A.
Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
secara konsep mencakup komponen untuk biaya operasional non personel hasil
studi Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional
(Balitbang Depdiknas). Namun karena biaya satuan yang digunakan adalah
rata-rata nasional, maka penggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai beberapa
kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi.
Prioritas utama BOS adalah untuk
biaya operasional non personil bagi sekolah. Oleh karena itu keterbatasan dana
BOS dari pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi sekolah/madrasah/ponpes
dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari sumber lain, dengan prioritas utama
dari sumber pemerintah, pemerintah daerah dan selanjutnya dari partisipasi
masyarakat yang mampu.
Dalam Rangka Penuntasan Wajar
Sembilan tahun yang bermutu, banyak program yang telah, sedang dan akan
dilakukan. Program-program tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu
pemerataan dan perluasan akses, peningkata mutu, relevansi dan daya saing dan
tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Salah satu program yang
diharapkan berperan besar terhadap percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun yang
bermutu adalah program BOS.
Melalui
Program BOS yang terkait dengan gerakan percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun,
maka setiap pelaksanaan program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut
:
Ø
BOS
harus menjadi sarana penting untuk mempercepat penuntasan Wajar 9 Tahun.
Ø
Melalui
BOS tidak ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar
iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah/ponpes.
Ø
Anak
lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke
sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/setara tidak dapat
melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah.
Ø
Kepala
sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus
dan tidak berpotensi untuk melanjutkan sekolah yang ditampung di SMP/MTs/SMPLB.
Ø
Demikian
juga apabila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat untuk
melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.
B.
Kredit
Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat, yang
selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil
Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi
yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif.
KUR adalah program yang dicanangkan
oleh pemerintah namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank.
Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70% sementara
sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan KUR diberikan
dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber pembiayaan dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR disalurkan oleh 6 bank pelaksana
yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri (BSM).
C.
Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat
Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin
menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena mereka mengalami
gangguan sebagai berikut:
1.
Menderita gizi buruk
2.
Pengetahuan kesehatan kurang
3.
Perilaku kesehatan kurang
4.
Lingkungan pemukiman buruk
5.
Biaya kesehatan tidak tersedia
Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan. Masyarakat
yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang sehat memiliki kondisi sebagai
berikut:
1.
Produktivitas kerja tinggi
2.
Pengeluaran berobat rendah
3.
Investasi dan tabungan memadai
4.
Tingkat pendidikan maju
5.
Tingkat fertilitas dan kematian
rendah
6.
Stabilitas ekonomi mantap
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:
Ø
Menjamin terpenuhinya keadilan
sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 kali dan 5 kali
lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah 8 juta
kematian sampai tahun 2010.
Ø
Untuk kepentingan politis nasional
yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya pembangunan
(termasuk kesehatan) di daerah miskin dan kepentingan politis internasional
untuk menggalang kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna mnurunkan
kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin.
Ø
Hasil studi menunjukan bahwa
kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan
demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih berhasil.Upaya-upaya pelayanan
kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun
strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli terhadap
penduduk miskin.
Pelayanan kesehatan peduli penduduk
miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:
Ø Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah
kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang
gizi, PMS dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.
Ø Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk tidak mampu.
Pembagian tugas :
- Endra
Nofitaria (23214575)
·
Pertumbuhan,
kesenjangan dan kemiskinan
·
Mengedit makalah
2.
Novita
Anggraeny (28214079)
·
Konsep
dan pengertian kemiskinan
·
Garis
kemiskinan
3.
Dona
Amalia Hanum (23214238)
·
Penyebab
dan dampak kemiskinan
·
Kemiskinan
di Indonesia
4.
Nazaline
Adinda L (27214878)
·
Beberapa
indicator kesenjangan dan kemiskinan
·
Factor
penyebab kemiskinan
5.
Ajeng
Ayu S. ( 20214649)
·
Kebijakan
anti kemiskinan
·
Program
pemerintah menanggulangi kemiskinan
NOVITA ANGGRAENY (28214079) 1EB08